d e s a i n ! A r s
i t e k t u r
m a j a l a h e k s p l o r a s
i d e s a i n & a r s i t e k t u r
EDISI #2 MEI 2000
MENERA PENDIDIKAN ARSITEKTUR INDONESIA
Tuntutan, Tekanan dan Tergagap-gagap
Yulianti Tanyadji
Arsitektur adalah seni dan keteknikan bangunan,
digunakan untuk memenuhi keinginan praktis dan ekspresif dari manusia-manusia beradab.
Hampir semua masyarakat menetap yang memiliki keteknikan membangun, menghasilkan
arsitektur. [Arsitektur] Penting bagi semua kebudayaansebab tanpanya, manusia hanya
melahirkan sebuah perjuangan primitif dengan elemen-elemen yang ada; sementara dengan
[arsitektur], manusia bukan hanya memiliki pertahanan terhadap lingkungan alam tapi juga
memperoleh keuntungan dari lingkungan manusia, sebuah prasyarat dan simbol dari
perkembangan kelompok-kelompok beradab.Encyclopaedia Britannica.
Perhatikan kata "seni" dan "keteknikan" pada uraian mengenai
arsitektur a la Encyclopaedia Britannica di atas. Pembedaan iniarsitektur sebagai
"seni" atau sebagai "ilmu pengetahuan" (keteknikan)berbicara
banyak pada perkembangan pendidikan arsitektur dunia; sejak zaman renaissance hingga saat
ini. Suhartono Susilo almarhumtokoh pendidikan arsitektur yang sempat mengajar di
Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Parahyangan (Unpar) dan Institut Teknologi
Nasional (Itenas) Bandungmemandang bahwa "manusia suka memilih sikap dikotomis
dalam memudahkan diri menghadapi dua hal yang membingungkan. Segala yang membingungkan
dikelompokkan dalam dua sisi yang berlawanan". Meski pada akhirnya kerap ditemukan
kompromi dengan mengakui kedua sisi ituseperti pada uraian tadi: arsitektur adalah
seni dan keteknikan bangunan. Hal ini telah ditegaskan pula oleh Vitruvius dengan
term-termnya: Venustas (keindahan), Firmitas (keteknikan) dan Utilitas (fungsi). Singkat
kata, seorang arsitek tidaklah sekedar ahli bangunan tapi lebih merupakan seorang
profesional yang menghayati pembangunan secara komprehensif. Dengan demikian, bukanlah hal
yang ajaib bila kemudian banyak sekali tuntutan yang perlu dipenuhi seorang calon arsitek
untuk dapat menjadi arsitek profesional.
Union Internationale des Architectes (UIA), persatuan arsitek-arsitek internasional,
menuntut kemampuan profesional seorang arsitek dengan kriteria kinerja profesionalisme
yang tinggi. Kriteria ini terdiri atas tiga tingkat penguasaan dengan tigapuluh tujuh
butir materi [lihat boks 1]. Ini
diberlakukan mengingat pekerjaan arsitek yang lebih dari sekedar mendesain bangunan.
Arsitek seringkali terlibat dalam semua tahap pembangunan suatu proyek; sejak perencanaan
hingga penyempurnaan tahap akhir. Penting pula diingat bahwa terdapat hubungan yang erat
antara karya arsitektur dengan lingkungan hidup serta kenyamanan dan keselamatan manusia.
UIA menentukan standar profesionalisme arsitek sebagai berikut: minimal lima tahun
pendidikan arsitektur di universitas (di Indonesia dikenal sebagai program strata
satu/S1), dilanjutkan dengan minimal dua tahun magang serta melewati kualifikasi
kompetensi dengan penguasaan tiga belas pengetahuan dan kemampuan dasar arsitektural [lihat boks 2].
Hal semacam ini pulalah yang diberlakukan oleh Royal Institute of British Architects
(RIBA), asosiasi arsitek Inggris, walaupun dengan cara yang agak berbeda. Di Inggris Raya,
program pendidikan (full time course in architecture) dibagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama, apabila ditempuh secara normal, berlangsung selama tiga tahun dan mereka yang
telah lulus tahap ini akan memperoleh gelar kehormatan, untuk selanjutnya meneruskan
dengan satu tahun pengalaman magang.
Bagian kedua berlangsung selama dua tahun, dan peserta yang telah menyelesaikan tahap ini
akan memperoleh gelar Diploma atau Bachelor of Architecture. Pada bagian dua ini,
seringkali diberlakukan sela waktu antara tahun ketiga dan keempat bagi siswa untuk
mengambil program magang pada biro arsitek yang terdaftar pada RIBA.
Pada bagian tiga, siswa menyelesaikan ujian praktik profesional (professional practice
examination), yang seringkali berlangsung paruh-waktu selama periode kedua pemagangan.
Pada akhir masa tujuh tahun ini, siswa diperkenankan mendaftar secara resmi sebagai
arsitek melalui Architects Registration Council of the United Kingdom (ARCUK) dan
mengajukan keanggotaan pada asosiasi profesional yang diakui RIBA.
Lain pula cara Amerika Serikat dengan American Institute of Architects (AIA) sebagai
asosiasi profesionalnya. National Council of Architectural Registration Boards (NCARB)
adalah dewan yang bertugas mengawasi anggota AIA dalam menjalankan tugasnya sebagai
arsitek; serta menjaga keamanan, kesehatan dan kesejahteraan publik yang dilayani oleh
arsitek. Gelar arsitek profesional diberikan hanya kepada lulusan sekolah arsitektur yang
terakreditasi oleh National Architectural Accrediting Board (NAAB) atau Badan Akreditasi
Arsitektur Nasional. Gelar profesional umumnya diperoleh melalui lima tahun program strata
satuBachelor of Architecture. Beberapa sekolah menawarkan program Master of
Architecture selama dua tahun bagi lulusan program arsitektur strata satu dan setara, atau
tiga sampai empat tahun bagi lulusan disiplin ilmu lainnya. Untuk memperoleh lisensi
profesi, diperlukan juga pengalaman kerjadengan periode tertentuserta melewati
ujian yang diselenggarakan oleh Architect Registration Examination (ARE).
Pembahasan sistem dan metode yang digunakan oleh RIBA dan AIA menjadi penting, mengingat
luasnya daerah "kekuasaan" mereka. Indonesia dikelilingi oleh negara-negara
berbasis RIBA, seperti Australia dengan Royal Australian Institute of Architects (RAIA)
yang tetap berakar dari RIBA, serta Singapura dan Malaysia. Tetapi tanpa pengakuan
kompetensi internasional berupa sertifikasi oleh asosiasi setempat, seorang arsitek tidak
memiliki hak untuk bekerja di negara lain. Bahkan dengan adanya architect act
(undang-undang yang mengatur lingkup kerja arsitek) yang diberlakukan lokal, seorang
arsitek tak dapat berpraktik tanpa sertifikasi setempat.
Sebagai salah satu dari sembilan puluh delapan negara anggota UIA di Region IV (Asia dan
Australia), Indonesia wajib mengikuti kualifikasi yang telah ditetapkan secara
internasional, untuk mempersiapkan arsitek-arsiteknya bertempur di medan internasional.
Sementara itu, program strata satu yang diberlakukan umum oleh Departemen Pendidikan
Nasional hanya berlangsung selama empat tahun. Permintaan UIA: minimal lima tahun
pendidikan universitas, atau boleh dikatakan lima tahun program strata satu. Pendidikan
tinggi arsitektur di Indonesia dengan ketentuan 144160 satuan kredit semester (sks),
tentunya dianggap tidak mencukupi secara internasional. Pemadatan kurikulum ini mulai
diberlakukan enam tahun lalu, dengan tujuan efisiensi untuk mempercepat proses kelulusan.
Akibatnya terjadi pemangkasan beberapa mata kuliah dan studio.
Tuntutan lima tahun pendidikan strata satu UIA pun lebih ditekankan kepada program
pendidikan studio yang berkelanjutan selama lima tahun terebut, sementara dengan kurikulum
144160 sks, siswa hanya mengalami proses studio berkelanjutan selama empat tahun.
Akhirnya timbul pemikiran untuk melakukan program penambahan satu tahun, yang dulu sempat
disebut-sebut sebagai program pendidikan profesi. Namundari hasil tanya jawab
penulis dengan beberapa anggota IAIsu program profesi itu telah berubah. Ini
ditegaskan pula oleh Sandi Siregar, ketua IAI pusat, yang menyebutkan bahwa tidak ada lagi
yang dinamakan program profesi, melainkan program "penambahan" satu tahun yang
merupakan kelanjutan dari sistem studio empat tahun tadi.
Sistem penambahan satu tahun ini diserahkan kepada setiap perguruan tinggidengan
cakupan 2040 sks; 24 sks di antaranya merupakan kurikulum inti tentunya atas
legitimasi dari IAI dan Departemen Pendidikan Tinggi (Depdikti). Setelah lulus program
"penambahan" ini, seseorang akan memperoleh gelar Sarjana Arsitektur. Untuk
memperoleh sertifikasi keanggotaan IAI, setelah melalui pendidikan lima tahun
tadiempat plus satu seorang sarjana arsitektur masih harus melalui pengujian
yang dilakukan oleh Dewan Keprofesian Arsitek -- kurang lebih seperti yang diberlakukan
oleh RIBA dan AIA itupun setelah melalui proses pemagangan dua tahun. Jenis
keanggotaan yang diterima adalah keanggotaan biasa atau lisensi tingkat C. Setelah
melewati tahun keempat, akan dilakukan assessment (penilaian) untuk memperoleh lisensi
tingkat B melalui evaluasi oleh Dewan Keprofesian Arsitek dan Dewan Lisensi Arsitek. Pada
tahun kedelapan, akan dilakukan penilaian lagi untuk memperoleh rekomendasi IAI untuk
lisensi tingkat A.
Sebenarnya masalah yang paling berat tidak berada di papan atas keanggotaan IAI.
Pembenahan keanggotaan IAI dalam mempersiapkan diri menghadang "serangan"
arsitek-arsitek asing sedang disiapkan. April 2000 ini dilaksanakan "pemutihan"
bagi anggota profesional IAI, sementara pada Oktober 2000 akan diadakan ujian sertifikasi
bagi anggota IAI yang terdaftar maupun calon anggota yang baru akan mendaftar. Boleh
dikatakan, persiapan arsitek-arsitek dengan keanggotaan IAI telah matang. Yang menjadi
masalah adalah bagaimana mempersiapkan calon-calon arsitek yang sedang atau akan melewati
pendidikan tinggi arsitektur 144 160 sks, sehingga mereka dapat memenuhi tuntutan
UIA yaitu penguasaan tigapuluh tujuh materi pengetahuan.
Herman Wiliantoketua jurusan arsitektur Unpar mengatakan bahwa suatu program
magister arsitektur yang bertekanan kepada desain, saat ini sedang diajukan kepada IAI dan
Depdikti. Studio merupakan inti program tersebut. Cara seperti ini sebenarnya telah
dijalani oleh program magister ITB sejak beberapa tahun lalu. Meskipun demikian, Iwan
Sudrajatketua jurusan arsitektur ITB -mengatakan bahwa belum tentu jalan
keluar yang diambil oleh ITB untuk menuntaskan program pendidikan tinggi lima tahun adalah
melalui program magister.
Jika diperhatikan kembali, program penambahan satu tahun ini diadakan seolah-olah hanya
untuk memenuhi ketentuan formal yang diminta UIA. Wajarlah bila kemudian timbul pertanyaan
mengapa tidak dilakukan saja penggenapan sistem pendidikan arsitektur lima tahun. Bukankah
cara ini akan lebih menjamin sistem studio yang komprehensif, selain mencegah pembengkakan
biaya yang ditanggung calon arsitek akibat program penambahan tadi?
Menjawab hal ini, Herman Wilianto memandang bahwa penggenapan program seperti itu akan
terlalu membebani siswa dengan kurikulum yang berlebihan, sementara pada kenyataannya
hanya 20% lulusan arsitektur yang benar-benar berprofesi sebagai arsitek. Hal yang sama
dikatakan oleh Iwan Sudrajat, yang juga menekankan bahwa kini bukan saatnya lagi
berandai-andai, karena pada kenyataannya Depdikti telah menetapkan keseragaman program S1
empat tahun yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Ini berarti bahwa program penambahan satu tahun tadi tidak dapat dielakkan. Toh harus
diwaspadai agar penambahan ini tidak hanya sekedar penambahan tahun saja, tanpa menjamin
kualitas arsitek yang dihasilkan. Tampaknya sudah saatnya IAI bersama dengan Badan
Akreditasi Nasional (BAN) mulai mengakreditasi sistem pendidikan tinggi di Indonesia serta
program-program "tambahan" yang akan atau telah berlangsung, agar pelaksana
pendidikan arsitektur bisa lebih mawas diri dan tidak terjebak pada hitungan kuantitas
saja.
IAI sendiri tampaknya telah cukup mempersiapkan proses sertifikasi dan penerbitan lisensi
arsitek Indonesia sebagai bekal menghadapi pesaing internasional. Kini tinggal
mengusahakan terlaksananya sistem tersebut, sebab aborsi suatu sistem yang baru dijalankan
toh terasa kurang bijak. Namun mengingat waktu yang terus bergulir, tampaknya IAI dan para
arsitek maupun calon arsitek perlu menentukan waktu tenggat pelaksanaan dan evaluasi dari
sistem yang ada. Kesiapan adalah hal mutlak, namun kesiapan berlebih tanpa pelaksanaan
adalah konyol.
reddesaintheme
copyrightã2000 prasthadesign
webmaster:
eyes-inc@consultant.com