d e s a i n ! A r s i t e k t u r
m a j a l a h  e k s p l o r a s i  d e s a i n  &  a r s i t e k t u r

EDISI 1 APRIL 2000
BADAI PASTI BERLALU ......
Pewawancara: Budi Suryanto & Dyan Wahyuningsih

Profesi arsitek kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Lahan usaha yang sering direbut profesi lain; adanya arsitek yang 'menjual diri' demi memperoleh proyek; serta banyaknya arsitek asing yang bekerja di Indonesia, turut menambah kompleksitas masalah. Kerap yang menjadi sumber masalah adalah kurangnya perlindungan terhadap profesi arsitek itu sendiri.

Di sini patut dipertanyakan eksistensi dan peran Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)organisasi payung bagi arsitek Indonesia--sementara banyak arsitek yang justru enggan menjadi anggota karena dirasakan belum bermanfaat
desain!ARSITEKTUR mewawancarai Dr.Ir. Sandi Siregar, M.Arch.,IAI untuk mengetahui visinya sebagai ketua IAI periode 1999-2004.

Bagaimana pandangan bapak terhadap kondisi profesi arsitek di Indonesia; seperti banyaknya lapangan pekerjaan arsitek yang diambil oleh pihak lain, membanjirnya arsitek asing serta rendahnya perlindungan terhadap arsitek?

Ini semua sumbernya karena profesi arsitek--seperti halnya profesi-profesi yang lain-- memang belum benar-benar dihargai. Hukumnya di Indonesia ini belum ada; yang ada sekarang baru undang-undang jasa konstruksi, sedangkan undang-undang bangunan gedung sampai sekarang belum jadi. Hal ini sudah IAI sampaikan kepada menteri yang bersangkutan, dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum. Kita bilang, semestinya ada yang namanya architect act, dan kita satu-satunya negara yang belum memiliki itu. Bisa dibayangkan jika sampai nanti kita belum juga punya undang-undang itu, dengan leluasa sekali arsitek luar masuk ke Indonesia. Di pihak lain, bila terjadi malpraktek seperti kekeliruan desain--misalnya [bangunan] terbakar, orang tidak bisa lari karena ada desain yang keliru, kemudian banyak orang meninggal--arsitek tidak bisa dituntut. Jadi sebenarnya yang diperlukan bukan hanya perlindungan terhadap arsitek.

Sejauh yang saya tahu, IAI sudah mengusulkan hal ini sejak duapuluh tahun yang lalu, tetapi tidak berhasil karena kita tahu tekanan-tekanan terhadap policy pada tahun-tahun yang lalu tidak ke arah sana. Untuk saat ini, undang-undang jasa konstruksi itu sudah lumayan untuk kalangan profesional, walaupun tidak seperti yang diharapkan--perlu ada undang-undang khusus untuk masing-masing profesi. Sekarang ini [rancangan] undang-undang kearsitekan sedang disiapkan, sedangkan undang-undang keinsinyuran tidak ada.

Apa visi bapak sebagai ketua IAI untuk memperbaiki kondisi-kondisi seperti itu?

Yang pertama kita bertolak pada prinsip badai pasti berlalu. Ini waktunya sebenarnya sudah terlambat untuk menyiapkan pranata baik di dalam [tubuh IAI] maupun untuk skala nasional. Sekarang sedang digalakkan LPJK [Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi] dari undang-undang jasa konstruksi hanya sampai pada tingkat itu saja. Walaupun itu sudah cukup, tetapi masih harus dilihat hasilnya. Dalam undang-undang ini, arsitek sudah mulai disebut walaupun kecil saja.

Dalam undang-undang [jasa konstruksi] itu, harus ada juga peraturan-peraturan--seperti ketentuan bahwa kita terikat dengan UIA [Union Institute of Architect]. UIA menyatakan bahwa untuk menjadi arsitek profesional, seseorang harus menjalani pendidikan formal lima tahun, terus ditambah dengan magang minimum selama dua tahun, sebelum akhirnya terdaftar dan mendapat lisensi. Di Indonesia prosedurnya nanti seperti itu, jadi untuk terdaftar harus lulus duluprinsipnya dengan ujian lisensi. Itu masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan persyaratan-persyaratan di negara lain.

Istilah lima tahun tidak berarti full kuliah saja, tetapi juga mengerjakan latihan merancang minimum sekian SKS [satuan kredit semester]. Sedangkan selama dua tahun magang itu, nanti akan ada pendidikan maupun kursus-kursus yang diadakan oleh IAI, atau anggota bisa juga mengikuti kursus-kursus yang ada di luar. IAI sekarang ini sedang menyiapkan program yang diberi nama PKB--Pendidikan Profesi Berkelanjutan. Jadi nanti jika anda tercatat sebagai anggota IAI, anda akan dituntut untuk mempertahankan level profesionalitas anda, misalnya anda harus tetap terpakai dalam mendesain minimal satu tahun sekali--tapi itu kan tergantung ada tidaknya proyek. Di samping itu, [tingkat profesionalitas anda bisa anda pertahankan] dengan [mengikuti] hal-hal lain yang menunjang, seperti seminar-seminar, kursus-kursus maupun penataran yang sangat bermanfaat bagi anggota IAI. Nantinya dari kegiatan tersebut IAI akan memberikan kum [point] sehingga para anggotanya selalu mencapai standar [profesional] tersebut.

Kemarin di Unpar, kami bahkan menganjurkan agar S2 membuka kursus-kursus dan mata kuliahnya untuk umum, misalnya untuk mata kuliah urban design, arsitektur kota maupun studio. Jadi semua orang bisa ikut tanpa harus tercatat sebagai anggota S2 dan dapat memperoleh kum sesuai dengan SKS-nya. Kira-kira seperti itulah konsepnya.

Yang pernah kita dengar, lisensi arsitek tersebut memiliki beberapa item yang harus dipenuhi. Bagaimana untuk menuju ke arah tersebut?

Itu baru sebatas ide, yang prinsipnya berlaku untuk skala nasional. Jadi baru sebatas gagasan untuk mengatasi keadaan kita sekarang sifatnya transisional. Cepat atau lambat, waktunya harus menjadi lima tahun untuk mendapatkan license tersebut. Tapi bisa saja untuk sementara yang empat tahun plus dua tahun dengan magang, dan terbatas untuk obyek-obyek arsitektur yang memang pantas untuk tingkat keahliannya itu.

Sepertinya sekarang ini semua standar yang diberlakukan berasal dari Amerika Serikat--begitu juga standar dalam pendidikan. Sekarang ini ada kursus khusus untuk pengajar arsitektur, dengan standar Amerika Serikat. Memang terutama untuk teknik, standar yang dipakai berasal dari Amerika Serikat. Dengan mendesakkan standar mereka, sudah dapat dibayangkan yang paling memenuhi syarat tentu saja ahli dari Amerika Serikat. Kalau ini tidak disadari dari sekarang, nantinya akan sulit.

Di sini, license itu memang baru terbatas sejauh gagasan untuk me-rescue pendidikan yang hanya empat tahun itu. Tapi nantinya harus bisa menjadi lima tahun, dan menjamin orang bisa untuk mencapai jadi lima tahun. Terserah itu menjadi master degree atau yang lainnya jadi nanti bisa kita buktikan kalau pendidikan kita lima tahun. Tapi kita lihat sekarang pendidikan master swasta baru ada di Unpar. Sekarang perguruan tinggi bisa bilang tidak mau, tapi akibatnya nanti dunia luar bisa bilang kalau lulusan arsitek kita tidak memenuhi syarat. Nanti begitu 2003, masuk arsitek berpendidikan lima tahun dari luar, dan lulusan kita terpuruk. Itu kenyataan yang kita hadapi nanti. License system-nya sendiri baru ada 7 April, saat UU-nya diberlakukan.

Setelah UU 7 April ini, apa beda kondisi profesi arsitektur nanti dengan sekarang?

UU yang diberlakukan ini cakupannya akan lebih luas, tidak seperti sekarang yang hanya SIBP [Surat Ijin Bekerja sebagai Perencana] saja. Sekarang saja yang boleh memiliki SIBP seharusnya adalah anggota IAI, dengan pengertian bahwa anggota IAI itu sudah berkategori profesional--lepas dari proses menjadi profesionalnya itu bagaimana. Tapi kenyataannya yang mendapat SIBP lebih banyak jumlahnya daripada anggota IAI. Kalau sudah begitu, kita bisa apa? Sedangkan yang memberikan SIBP itu bukan IAI, nanti juga yang memberikan license itu bukan IAI. Yang menilai bahwa seseorang itu sudah pantas kualitasnya untuk menjadi profesional memang IAI, tapi yang mengeluarkan [lisensi itu] pemerintah daerah. Karena itu harus ada UU lain yang mencegah adanya permainan.

Bagaimana tanggapan para praktisi terhadap visi IAI yang bapak sampaikan tadi?

Kalau nantinya itu semua berlaku, mau tidak mau mereka harus mendukung. Memang itulah jalan yang harus ditempuh, kalau tidak kita nanti akan tersingkir. Contohnya sekarang ini belum ada ketentuan untuk mengikuti kongres sehingga sering banyak [anggota] yang tidak hadir. Kondisi ini berbeda sekali dengan yang ada di luar. Nantinya IAI akan membuat ketentuan sehingga ini menjadi syarat dan yang hadir akan mendapat kum [point].

Seringkali muncul pernyataan bahwa tidak ada gunanya menjadi anggota IAI; banyak yang menjadi anggota hanya untuk mendapat lisensi saja. Bagaimana menurut bapak?

Memang seperti itu kondisinya. Tetapi di kita ini anehnya orang selalu bertanya, apa sih gunanya bagi saya? Kita harus mulai dengan percaya bahwa lisensi itu perlu. Jika tidak ada lisensi itu, lalu bagaimana mempertanggungjawabkan profesionalitas kita. Semestinya kita berpikiran bahwa profesi kita ini harus dilindungi dari penipuan dan sebagainya, termasuk juga bisa melindungi masyarakat. Tapi jika IAI tidak mempunyai kekuatan dan tidak didukung oleh anggotanya, bagaimana dia bisa melindungi?
Selain itu, yang berjuang jangan pengurusnya saja--orang yang itu-itu saja. Kita harus punya kekuatantanpa dukungan, perjuangan itu tidak akan berhasil. Kita jangan melihat kondisi sekarang, karena memang tidak ideal.

Apakah itu karena IAI kurang mensosialisasikan visinya?

Sekarang begini, bagaimana bisa disosialisasikan jika tidak ada dana? Kenapa tidak ada dana? Karena anggotanya tidak membayar. Kalau anda tahu kondisinya itu baru anda mengerti. Lho kan itu aneh. Organisasi profesi itu kan berat pekerjaannya. Maka dari itu, masuk dan dukunglah organisasi ini. Aktiflah, dan carilah tempat di mana anda bisa menjadi pengurus. Memang saat ini banyak yang munafik, yang tidak percaya keuntungannya menjadi anggota IAI, tetapi seandainya perlu, dia masuk juga. Itu kan mental orang kita. Salah satu misi IAI adalah agar anggotanya tidak bermental seperti itu.

Bagaimana perhatian IAI sendiri terhadap mahasiswa sekarang ini?

IAI sekarang ini berencana membuka keanggotaan junior untuk mahasiswa, untuk merangsang mereka agar masa depannya menjadi lebih baik. Jadi sudah dari awal dia tahu apa yang dia lakukan. Tentu saja ada keuntungan bagi dia jika masuk dari awal--artinya semua pengalamannya selama kuliah juga terhitung, untuk menolong dia mencapai tingkat profesional. Untuk mahasiswa nanti, harus ada sistem lain. Dasar pemikirannya adalah untuk mempercepat [pencapaian ke tingkat profesionalnya]. Point-point untuk menuju profesi bisa dikumpulkan dengan cara mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh IAI.

Banyak calon arsitek yang baru lulus disulitkan dengan lisensi yang syaratnya sudah berpraktek atau minimal mengerjakan dua proyek, sedangkan untuk mengerjakan proyek, semestinya kita sudah punya lisensi…


Dua proyek di sini bukan maksudnya harus dikerjakan sendiri--bisa dengan bekerja di biro, jadi nggak harus punya lisensi. Orang boleh bekerja tanpa punya lisensi, tapi tidak boleh bertanggung jawab. Maksudnya punya lisensi bukan untuk boleh bekerja, tapi sudah diakui dia itu mandiri. Jadi kalau belum mandiri, ya bekerja untuk orang lain dulu.

Atau pengerjaan proyeknya dengan menyertakan senior?

Ya, itu bisa, untuk keadaan sekarang, jadi nanti kita cari senior dari anggota IAI yang dapat dipercaya dan berdedikasi tinggi, yang bisa membimbing atau menjadi mentor. Ini disebut dengan sistem mentoring. Tetapi ini baru sebatas ide untuk alternatif, melihat dari kondisi sekarang.

Pesan bapak untuk mahasiswa arsitektur?

Arsitektur merupakan ilmu yang sangat terbuka. Memang sebaiknya untuk bisa masuk ke sini, orang harus memenuhi persyaratan tertentu. Setelah seseorang belajar ilmu ini, memang ia tidak harus menjadi arsitek. Selama di perguruan tinggi, mahasiswa selalu diajarkan untuk merancang, tidak melulu hanya untuk bisa merancang bangunan. Metoda yang dipakai di studio itu adalah metoda belajar arsitektur yang tidak dipunyai ilmu lain. Mahasiswa langsung dihadapkan pada masalah terus-menerus.

Untuk mendesain dengan baik, mahasiswa harus mengetahui keseluruhan proses dari mulai dibangun sampai dibongkar kembali. Ketika mendesain, mahasiswa harus tahu bagaimana dibangunnya, bagaimana dimanfaatkan, bagaimana dipelihara, bagaimana kalau dibongkar lagi. Jadi [ia] harus tahu keseluruhan skenario. Orang harus sadar pada keseluruhan proses. Saya sangat menghargai mahasiswa yang mempelajari ini semua, dibandingkan dengan yang membuat desain yang rumit tapi tidak terpikirkan bagaimana membangunnya. Menurut saya, kreativitas bukan di situ letaknya. Jadi, yang berbakat, yang pintar, yang nilainya baik, harusnya nanti bisa menjadi desainer. Point yang ingin saya katakan adalah studio merupakan tempat belajar, jadi seseorang yang mantap ingin menjadi desainer, tidak boleh berhenti belajar.


logo1a.jpg (15595 bytes)

red
desaintheme
copyright
ã2000 prasthadesign
webmaster