d e s a i n ! A r s
i t e k t u r
m a j a l a h e k s p l o r a s
i d e s a i n & a r s i t e k t u r
EDISI #3 MEI 2000
Pendidikan Arsitektur Indonesia
Masa Transisi
Johannes Widodo*
Perdagangan Bebas dan Keterbelakangan Dunia Profesi
di Indonesia
Di dunia yang semakin terbuka dan saling tergantung seperti saat ini, praktis profesi
arsitek di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh sistem atau tertib profesi
negara-negara lain. Sistem yang diterapkan di Inggris (RIBA) dianut oleh banyak negara di
sekeliling Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Hongkong dan India. Selain
itu, asosiasi profesi di Amerika (AIA), Jepang (AIJ) dan Cina, misalnya, telah menerapkan
dan menegakkan prinsip-prinsip profesionalisme arsitek di negeri masing-masing.
Barangkali Indonesia termasuk negara terbelakang dalam hal tertib profesi arsitek.
Undang-undang keprofesian arsitek (architect act) belum kita miliki; sistem sertifikasi
dan registrasi profesi arsitek baru akan kita terapkan; dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
sendiri baru mulai melakukan konsolidasi dan mendefinisikan posisinya kembali.
Keharusan Indonesia untuk membuka diri dan melaksanakan perdagangan bebas mulai 2003
sesuai kesepakatan WTO (World Trade Organization), mau tidak mau telah memaksa Indonesia
untuk secepatnya menata diri. Jasa konstruksi dan konsultan arsitek termasuk bidang yang
harus dibuka bebas. Kalau kita terlambat mempersiapkan diri dengan baik, kita akan menelan
kekalahan demi kekalahan; terpaksa hidup di bawah dominasi profesional negara lain. Waktu
yang tersisa sedemikian sempit, tugas yang mesti dilakukan sedemikian rumit, pengalaman
kita sedemikian sedikit.
Sertifikasi Profesional dan Akreditasi Pendidikan Arsitektur
Ikatan Arsitek Indonesia adalah wadah resmi yang diakui pemerintah sebagai organisasi
profesi arsitek di Indonesia. IAI adalah anggota Uni Arsitek Internasional (UIA), dan pada
tingkat regional IAI menjadi anggota Dewan Regional Arsitek Asia (ARCASIA). IAI terikat
kesepakatan dan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi tingkat dunia maupun regional
tersebut.
Menyangkut pendidikan arsitek, UIA telah menetapkan bahwa sertifikat kompetensi paling
awal bagi arsitek diberikan setelah seseorang menyelesaikan minimal lima tahun pendidikan
dasar arsitektur secara berkesinambungan, di sekolah arsitektur yang terakreditasi oleh
asosiasi profesi resmi, ditambah pengalaman kerja profesional (magang) selama minimal dua
tahun setelah lulus dari pendidikan dasar tersebut. Formula "5+2" ini harus
diterapkan juga di Indonesia apabila kita mau setara dalam persaingan antarbangsa.
Konsekuensinya, kurikulum pendidikan arsitektur empat tahun yang kini berlaku di Indonesia
harus diubah atau disesuaikan menjadi lima tahun. Studio perancangan arsitektur harus
diselenggarakan selama sepuluh semester secara berkesinambungan, dan menjadi tulang
punggung (core) pendidikan desain arsitektur.
Penyelenggaraan studio inilah yang perlu diakreditasi oleh asosiasi profesi, sehingga
ujian studio akhir yang komprehensif dapat disetarakan dengan ujian sertifikasi arsitek
profesional. Akreditasi studio itu akan menyangkut aspek substansi (seperti bentuk, isi,
mutu dan integrasi tugas) maupun aspek formal (seperti beban kredit, profesionalisme
pembimbing dan rasio pembimbing/mahasiswa). Akreditasi profesional ini berbeda dan tidak
perlu dikaitkan dengan akreditasi pemerintah mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Penyelenggaraan Pendidikan Arsitektur
Para penyelenggara pendidikan arsitektur akan mempunyai dua pilihan: menyelenggarakan
jalur pendidikan ilmu arsitektur (architectural sciences) dari S1 hingga S3, atau
menyelenggarakan jalur pendidikan desain arsitektur (architectural design) untuk persiapan
menuju sertifikasi arsitek profesional. Program pasca sarjana arsitektur, dengan demikian,
dapat menghasilkan Magister Ilmu Arsitektur (MS.Arch.) menuju kepada pencapaian gelar
keilmuan Ph.D Arsitektur, atau Magister Desain Arsitektur (M.Arch.) yang merupakan
pengakuan spesialisasi dalam salah satu bidang desain arsitektur.
Sekolah arsitektur S1 dapat memberikan gelar sarjana "ilmu" arsitektur setelah
mahasiswa menyelesaikan 144 SKS minimal, dan sarjana "desain" arsitektur setelah
mahasiswa menyelesaikan 160 SKS maksimal, sesuai ketentuan yang masih berlaku. Barangkali
ini adalah pemecahan yang paling mudah dan murah dari sudut pandang mahasiswa dan
asosiasi, tetapi belum tentu "menguntungkan" dari sudut penyelenggara
pendidikan.
Ada pula kehendak untuk membuat pendidikan profesi arsitek selama satu tahun sebagai
tambahan pendidikan S1 yang empat tahun. Pendidikan satu tahun ini bisa diselenggarakan
sebagai bagian dari pendidikan S2, atau bisa pula dijalankan sebagai program khusus yang
mandiri. Model ini barangkali relatif lebih mahal daripada alternatif pertama tadi, namun
memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi masyarakat maupun penyelenggara pendidikan.
Proses akreditasi oleh asosiasi menjadi lebih kompleks, karena perlu ada jaminan terhadap
integrasi dan kontinuitas pendidikan dalam studio perancangan arsitektur selama lima
tahun, baik dari substansi maupun mahasiswa pesertanya.
Pendidikan Arsitektur: Fakultas atau Jurusan?
Diskusi dan debat mengenai posisi dan status pendidikan arsitektur sebagai jurusan atau
fakultas telah berlangsung lama di Indonesia. Posisi keilmuan arsitektur yang
dikelompokkan bersama teknik sipil dalam fakultas teknik (atau fakultas teknik sipil dan
perencanaan) juga terus dipertanyakan.
Perkembangan ilmu arsitektur sendiri telah bergeser dari ilmu-ilmu keteknikan dan
kerekayasaan (engineering) menjadi lebih dekat kepada keluarga ilmu lingkungan, seni dan
humaniora. Ilmu arsitektur masa kini barangkali lebih sesuai berada dalam kelompok
planning, environment dan design, daripada kelompok engineering. Fakultas lingkungan
binaan, misalnya, barangkali menjadi wadah yang lebih tepat bagi arsitektur. Banyak
sekolah arsitektur di Eropa, Australia dan Amerika yang sudah menyesuaikan diri dengan
kecenderungan ini.
Ditinjau dari sudut pendidikan keprofesian arsitek, debat menyangkut posisi ini
sesungguhnya tidak terlampau relevan. Pendidikan desain arsitektur yang berpusat pada
studio perancangan arsitektur itu, dapat berada entah pada tingkat jurusan, fakultas atau
bahkan sekolah tinggi. Ada banyak alternatif kemungkinan, ada banyak jalan dan cara yang
dapat dilakukan. Yang terpenting adalah, mahasiswa yang lulus dari pendidikan desain
memiliki cukup kemampuan dan keterampilan dasar, sehingga mereka dapat lulus dalam ujian
sertifikasi profesi arsitek dan layak disebut sebagai calon arsitek profesional. Standar
kompetensi profesional inilah yang menjadi tolok ukur (benchmark) bagi lulusan yang
dihasilkan melalui berbagai bentuk pendidikan arsitektur terakreditasi.
Kemenangan dalam suatu sayembara; penghargaan khusus di bidang desain; penugasan dalam
proyek-proyek lepas (freelance); pengalaman magang kerja di bawah seorang arsitek senior
dalam sebuah biro arsitek yang baiksemua ini bernilai penting dalam meningkatkan
profesionalisme arsitek dan akan dihargai pada proses sertifikasi.
Sudah Siapkah Kita?
Undang-undang keprofesian arsitek (architect act) dan beberapa perundangan yang terkait
dengan profesi arsitek kini tengah disusun dan akan segera diberlakukan di Indonesia.
Bahkan Undang-undang Jasa Konstruksilepas dari segala ketidaksempurnaannyayang
mengatur usaha-usaha di bidang konstruksi (termasuk jasa konsultan arsitektur), telah
diberlakukan sejak awal 2000.
Proses sertifikasi arsitek profesional mulai dilakukan oleh IAI pada April 2000, mulai
dari anggota profesional lama. Sekitar Oktober 2000 sudah direncanakan penyelenggaraan
ujian sertifikasi profesional arsitek yang pertama. Sejajar dengan itu, pembicaraan
menyangkut pemberian lisensi praktik kerja bagi para arsitek yang telah bersertifikasi
profesional, telah giat dilakukan di berbagai daerah dengan pihak pemerintah propinsi
setempat.
Tak lama lagi para arsitek asing akan membanjiri Indonesia, menyusul arus masuk
rekan-rekan mereka yang sudah mulai berkarya di pelosok Nusantara. Akan semakin banyak
proyek perencanaan dan konstruksi kita yang dipercayakan kepada perusahaan internasional
atau multi-nasional. Profesionalisme akan menjadi tolok ukur global, bukan lagi
sentimen-sentimen lokal.
Sudah siapkah pendidikan arsitektur kita? Sudah siapkah IAI pusat dan daerah? Sudah
siapkah pemerintah daerah? Sudah siapkah anda sendiri? Waktu demikian cepat melaju
Pekerjaan begitu banyak, waktu begitu sempit.
*Penulis adalah dosen dan peneliti di jurusan arsitektur Unpar, arsitek profesional, serta
anggota dewan pendidikan arsitek IAI pusat
reddesaintheme
copyrightã2000 prasthadesign
webmaster:
eyes-inc@consultant.com