d e s a i n ! A r s i t e k t u r
m a j a l a h  e k s p l o r a s i  d e s a i n  &  a r s i t e k t u r

EDISI #3 JUNI 2000
Arus Kapitalisme Global dan Masa Depan Arsitektur Indonesia
M. Ridwan Kamil*

Saat ini beragam strategi dan reposisi profesi arsitek di negara maju telah banyak dilakukan dalam menyikapi gelombang ekonomi baru yang lazim disebut kapitalisme global. Cepat atau lambat sistem ekonomi dengan pendekatan pasar bebasnya ini akan menjadi ancaman serius bagi bidang arsitektur di Indonesia. M. Ridwan Kamil* menelaah fenomena-fenomena dan studi kasus yang terkait dengan isu kapitalisme global tersebut, termasuk bagaimana dunia arsitektur di Indonesia bisa secara waspada menyikapinya.


Dalam beberapa dekade di akhir abad ke-20 lalu, dunia dikejutkan oleh cepatnya perubahan pada tatanan wajah dan peradaban dunia oleh kemajuan teknologi informasi. Menurut sosiolog Manuel Castels (1994) dalam "Technopoles of the World", tata nilai peradaban dunia ini sedang menjalani perubahan dramatis oleh tiga fenomena historis, yaitu: revolusi teknologi informasi, sistem ekonomi global dan produk ekonomi baru yang disebut weightless economy.

Revolusi teknologi informasi yang dimulai sejak peluncuran satelit komunikasi ke angkasa luar di akhir tahun 60-an, dinilai Castels sebagai bench-mark yang sama pentingnya dengan revolusi industri di abad 19. Pergerakan sinergis antara teknologi telekomunikasi dengan teknologi komputer dan internet telah merevolusi cara orang berkomunikasi, bertukar informasi maupun beraktivitas ekonomi.

Saat ini, dengan mobile phone orang bisa berkomunikasi verbal keseluruh belahan bumi ini dengan leluasa. Dengan internet, orang bisa secara virtual melakukan beragam aktivitas via satu media, seperti mencari informasi, berdagang, belajar, berkomunikasi, mencari jodoh, maupun menonton hiburan.

Fenomena berikutnya adalah terbentuknya sistem ekonomi global yang pergerakannya menembus batas-batas geografis atau borderless economy. Sistem yang beraroma kapitalis ini memperlakukan dunia sebagai satu kesatuan entitas ekonomi secara utuh dengan konsep satu planet dan satu kebutuhan (bergerak-berinteraksi). Menurut pengusung konsep globalisasi, Kenichi Ohmae, dalam kurun 30 tahun mendatang fenomena ini akan melahirkan 100-an kota-kota yang mandiri sesuai dengan derajat interaksi dalam kehidupan komunitas ekonomi global seperti halnya kota New York, London, Singapore maupun Bombay.

Menurut futurolog muda Dimitri Mahayana (2000) yang mengutip David C. Korten dalam "When Corporations Rule The World", kapitalisme global sebagai sistem ekonomi masa depan ini sebenarnya terbentuk oleh empat pelaku utama. Pelaku pertama adalah perusahaan-perusahan berskala korporasi raksasa sebagai pembonceng dan pemain utamanya. SOM, RTKL atau HOK Architects adalah contohnya untuk bidang arsitektur. Pelaku kedua adalah negara-negara penguasa ekonomi dan penganjur pasar bebas dunia dalam hal ini Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Pelaku ketiga adalah kaum teknokrat yang merancang sistem kapitalisme global ini lengkap dengan segala agenda tersembunyinya, seperti IMF atau Bank Dunia. Pelaku keempat adalah kaum intelektual sendiri yang kerap memprovokasi konsep kapitalisme global ini, seperti halnya John Naisbitt ataupun Alvin Toffler. Kemudian pada perkembangannya, sistem kapitalisme global ini seringkali dibonceng oleh pelaku ekonomi berskala korporasi dalam merebut pasar di negara-negara dunia ketiga melalui jerat bantuan badan-badan donor internasional.

Fenomena terakhir dalam analisa Castels adalah lahirnya produk ekonomi baru yang tidak lagi mengandalkan pada perdagangan barang secara fisik melainkan pada transaksi ekonomi berbentuk saham atau mata uang. Menurut Direktur London School of Economics, Anthony Giddens (1999), nilai kapital weightless economy ini sudah jauh melebihi nilai pergerakan perdagangan barang. Pesatnya perkembangan teknologi informasi, menurut Giddens, mengakibatkan transaksi berbasis non-stop 24 jam ini mengalami percepatan yang sungguh luar biasa dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir.

Fenomena weightless economy ini semakin menarik ketika para dotcoms atau perusahaan berbasis internet yang tak punya catatan keuntungan pun ternyata bisa dengan mudah memperoleh market capitalization yang luar biasa besar. Bahkan sebuah perusahaan internet search-engine bernama Yahoo!, menurut pengamat ekonomi Krisnadi Yuliawan (2000), nilai sahamnya bisa mencapai sekitar US$ 82 trilyun. Sebuah nilai yang hampir sebanding dengan ekonomi Australia.

***

Perubahan orientasi ekonomi dunia ini disadari betul oleh konsultan-konsultan arsitektur di negara maju. Mereka dengan sigap kemudian melakukan penyesuaian melalui beragam inovasi untuk memperbaiki kinerja operasionalnya. Menurut Arsitek Raymond Kappe (2000), di Amerika Serikat sekarang ini hampir 100 persen dari konsultan arsitektur yang berpraktek aktif sudah dikomputerisasi. Karena selain alasan efisiensi, komputerisasi yang dibantu oleh kemajuan teknologi informasi, seperti internet, memungkinkan mereka melakukan mobilitas komunikasi jarak jauh dan desentralisasi pekerjaan.

Peluang besar dari pasar yang ditawarkan oleh kapitalisme global ini direspons dengan banyaknya firma arsitektur kelas dunia merapatkan barisan dengan merger membentuk sistem korporasi. Contoh-contoh hal ini dapat dilihat ketika konsultan DMJM dan Paul Keating merger membentuk DMJM Keating Architects, I.M Pei merger membentuk Pei Cobb Freed Architects, atau HOK mengakuisisi beberapa konsultan arsitektur di London, Warsawa dan Brisbane di bawah bendera HOK.

Mereka pun dengan giatnya membentuk banyak kantor cabang di lokasi-lokasi potensial di seluruh dunia. Dengan cara inilah mereka mampu mereguk pasar-pasar arsitektur dunia melalui kekuatan performa cutting-edge teknologinya, kemudahan network data/gambar, portfolio kolektif maupun desentralisasi kontrol proyek dan sumber daya manusianya.

Strategi lain yang dilakukan adalah dengan spesialisasi pekerjaan. Gaya lama dengan menerima seluruh jenis proyek untuk dikerjakan oleh satu kantor sudah mulai ditinggalkan. Konsultan Wimberly Allison Tong & Goo (WATG) menjadi besar karena mengkhususkan diri pada proyek-proyek perhotelan dan leisure saja. HOK Sports menjadi yang terbesar sedunia karena hanya fokus pada proyek-proyek sarana olahraga saja.

Strategi yang sama juga dicoba dilakukan oleh Development Design Group (DDG) dari AS dalam merebut pasar di Indonesia sebelum krisis. DDG memfokuskan diri pada proyek komersial besar seperti Shopping Mall atau Hotel dan proyek master plan perumahan atau real estate. Belasan fungsi komersial seperti Pondok Indah Mall I dan II, Hotel/Mall Ciputra, Ancol Walk, Kota Casablanca, ataupun Bandung Mall adalah contoh yang mereka kerjakan sebagai hasil dari strategi ini.

Proyek-proyek berskala raksasa seperti Kota Legenda, Ancol Baru, Pantai Indah Kapuk, Telaga Kahuripan maupun proyek kontroversial Kapuk Naga juga bisa mereka peroleh melalui kekuatan strategi spesialisasi ini. Selain selalu menjaga performa profesionalisme kerja, mereka juga memanfaatkan betul kelemahan mental pelaku properti di Indonesia yang cenderung western minded sebagai efek dari gegar budaya globalisme.

Di negara Barat khususnya Amerika Serikat secara umum konsultan arsitektur dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan filosofi kerjanya. Yang pertama adalah Master Architect Firms, yang berkembang karena nama besar si pendirinya. Richard Meier Architects, Cesar Pelli & Partners, Frank O'Gehry, Eisenman Architects, Renzo Piano Building Workshop maupun Foster & Partners adalah contoh-contoh dari jenis yang pertama ini.

Yang kedua adalah Corporate Architecture Firms, yang menjadi besar karena sifat ekspansifnya. Mereka juga biasanya tidak mengandalkan kekuatan desain pada superstar architect, namun lebih kepada karya kolektif dengan beragam langgam arsitektur dan sifat kontemporernya. Helmuth, Obata + Kassabaum (HOK), Skidmore, Owings & Merril (SOM), Kohn Pedersen Fox (KPF), Wimberly Allison Tong & Goo (WATG), Gensler Inc., maupun RTKL adalah contoh-contoh dari jenis yang kedua ini.

Menariknya, jenis yang kedua ini sering memperlakukan arsitektur sebagai sebuah industri dan bisnis. Bagi mereka, kata sukses lebih banyak diukur oleh berapa besar revenue yang bisa mereka dapatkan setiap akhir tahun. Untuk itu biasanya mereka membangun branch office yang banyak dan divisi marketing yang besar untuk membantu satu direktur yang kerjanya hanya melulu mengejar proyek. Dengan beberapa pengecualian, tidaklah mengherankan jika karya-karya mereka tidak banyak memberi sumbangan yang berarti pada perkembangan arsitektur dunia, dan biasanya tidak sebaik karya-karya para master architect.

Studi Kasus: HOK Architect Inc. Amerika Serikat

Berikut akan coba dijelaskan secara singkat bagaimana teknologi informasi dan komputer benar-benar diberdayakan secara maksimal oleh sebuah konsultan besar di Amerika Serikat. Studi kasusnya memilih konsultan HOK Architects Inc. karena dianggap bisa mewakili perilaku korporasi arsitektur di negara Barat dalam menyikapi peluang dari sistem kapitalisme global tesebut.

HOK sesuai dengan akronimnya didirikan oleh Helmuth, Obata dan Kassabaum di tahun 1955. Dari 28 orang di awal pendiriannya di St. Louis AS, staf HOK kemudian berkembang pesat menjadi sekitar 2000 orang yang tersebar di seluruh 24 kantor cabangnya. Tidaklah heran jika beberapa tahun terakhir ini, HOK dinobatkan sebagai firma arsitektur terbesar di dunia dari segi revenue tahunan dan jumlah arsitek yang dipekerjakan.

Untuk mengantisipasi persaingan global, HOK kemudian menerapkan spesialisasi jasa di kantor-kantor cabangnya. HOK Sports di Kansas hanya fokus pada proyek sarana olahraga, HOK New York berkonsentrasi pada Health Care dan Aviation, HOK San Francisco pada proyek Planning dan Urban Design atau HOK Orlando pada Entertainment adalah contoh-contoh dari strategi spesialisasi tersebut. Strategi lainnya adalah dengan membuka kantor cabang yang berdekatan dengan region yang sedang booming proyek. Hal ini terlihat pada dibukanya HOK Berlin dan HOK Shanghai untuk mengantisipasi proyek di Berlin dan Cina. Sementara pasar Asia pada umumnya diantisipasi oleh HOK Hong Kong.

Untuk mengelola puluhan proyek dan 2000-an karyawan, tentulah dibutuhkan sistem network yang baik dan handal. Pilihannya jatuh pada penggunaan intranet dan system area network yang menjangkau lokal maupun skala regional. Dengan sistem ini, seseorang di New York bisa dengan mudah mengkopi sebuah file dari local computer di kota lain. Seseorang juga bisa memijit tombol enter untuk printing di kota Houston, tapi hasilnya tercetak oleh plotter di kota Toronto. Media video-conferencing juga mulai digalakan untuk memudahkan komunikasi antar kantor cabang. Media ini terbukti bisa menghemat biaya transportasi dan hotel sampai puluhan ribu dollar tiap tahunnya yang biasanya dialokasikan untuk para peserta rapat.

Pernah terjadi, proyek 3 bulan bisa diselesaikan dalam waktu hanya 1 bulan. Di proyek tersebut, kantor New York berkolaborasi dengan kantor Hong Kong yang perbedaan waktunya mencapai 12 jam. Strateginya cukup unik, setelah jam kerja lembur di New York selesai pukul 9.00 malam, seluruh gambar kemudian di upload ke intranet HOK melalui program FTP. Dalam waktu bersamaan secara real time, di Hong Kong waktu sudah menunjukan pukul 9.00 pagi. Gambar-gambar kerja tadi kemudian di-download untuk segera dilanjutkan oleh para arsitek HOK di Hong Kong. Jadi pada prinsipnya, proyek ini benar-benar dikerjakan non-stop 24 jam dengan koordinasi melalui video-conferencing setiap dua hari sekali.

Di HOK seluruh gambar dikerjakan dengan AutoCAD-14 atau versi 2000 untuk memudahkan koordinasi dengan konsultan M/E maupun struktur yang juga menggunakan AutoCAD. Di Amerika Serikat sendiri, 80 persen konsultan arsitektur menggunakan software gambar AutoCAD keluaran Softdesk. Untuk mengontrol keseragaman kualitas gambar, tiap kantor cabang memiliki CAD manager yang kerjanya rutin melatih para user lewat forum mingguan termasuk menerapkan standar layer dan penamaan file gambar versi AIA.

HOK juga mencanangkan kampanye Best Practice yang bercita-cita agar seluruh dokumen gambar, data spec, format kertas kerja, kop, image-image portfolio maupun detail-detail konstruksi bisa secara digital disimpan di intranet yang disebut e-library. Dengan cara ini, kantor cabang yang sedang bersaing untuk sebuah proyek, bisa dengan mudah mendownload puluhan image portfolio proyek terbaru untuk kemudian dijadikan bahan proposal. E-library yang memuat detail konstruksi digital ini juga telah terbukti menghemat 50 persen waktu kerja dan cost pada tahap pengerjaan construction drawing.

Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, HOK rutin mengadakan pelatihan mingguan untuk meningkatkan kinerja CAD dan computer skills para arsiteknya. Ahli metode konstruksi dan produsen building material terbaru selalu diundang rutin untuk presentasi, dimana kehadiran para arsitek di forum ini akan diberi point untuk memenuhi sistem kredit profesi AIA.

Dalam hal kesempatan kerja, HOK juga menerapkan aturan EOE (Equal Opportunity Employer). Aturan ini melarang HOK melakukan diskrimasi terhadap calon pegawai karena perbedaan ras, agama, orientasi seksual, suku bangsa maupun cacat fisiknya. Dengan sistem ini selama calon pegawai ini qualified terutama dari segi computer skills, kesempatan kerja sangatlah terbuka lebar termasuk untuk calon pegawai dari negara asing seperti Indonesia.

Kapitalisme Global: Ancaman atau Kesempatan?

Apa kiranya yang bisa kita lakukan dalam merespons arus kapitalisme global ini? Apa kita hanya mau menjadi kaum 'global-skeptics' yang disebut Anthony Giddens (1999) sebagai kaum yang menutup mata atas ancaman isu ini, dan hanya berharap banyak pada aturan proteksi profesi? Ataukah kita justru akan ikut terlibat aktif seperti disebut Giddens sebagai 'hyper-globaliser', yang dengan segala keterbatasannya menjadikan ancaman ini sebagai kesempatan?

Dalam menghadapi isu ini, ada beberapa saran-saran praktis sederhana yang bisa disikapi baik dari perspektif professionalisme maupun dari daya saing sumber daya manusia. Saran-saran praktis ini lahir dari hasil pengamatan dan pengalaman empirik penulis yang terbatas, sehingga banyak hal-hal yang masih memungkinkan untuk diperdebatkan:


Dari perspektif professionalisme di bidang arsitektur:

Dari perspektif pengembangan sumber daya manusia:

Penutup

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek kapitalisme global ini telah memacu seluruh entitas ekonomi termasuk dunia arsitektur untuk gigih berkompetisi menghasilkan inovasi-inovasi profesionalisme yang terbaik. Dampak dari implementasi pasar bebas dengan hukum rimbanya haruslah kita sikapi dengan melakukan beragam persiapan di berbagai skala kepentingan. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia melalui institusi pendidikan maupun secara otodidak dan penguatan efisiensi profesionalisme profesi arsitek di Indonesia haruslah dijadikan langkah strategis dalam menghadapi isu tersebut.

Perbedaan sudut pandang dalam melihat kapitalisme global sebagai ancaman atau kesempatan, pada akhirnya akan menguji mentalitas jati diri kita yang sebenarnya. Apakah kita memang memiliki mental petarung atau malah mental pecundang? Kelambatan bereaksi hanyalah akan menggiring kita menjadi penonton pasif yang hanya bisa menyaksikan gerbong kereta globalisasi perlahan-lahan mulai menjauh, sampai akhirnya tidak terkejar lagi. Hal ini persis seperti apa yang diungkapkan oleh Giddens: "Globalisation, some argue, creates a world of winners and losers, a few on the fast track to prosperity, the majority condemned to a life of misery and despair".***


*Penulis adalah dosen muda di jurusan arsitektur dan staf di Pusat Studi Urban Desain (PSUD) ITB.


logo1a.jpg (15595 bytes)

red
desaintheme
copyright
ã2000 prasthadesign
webmaster: eyes-inc@consultant.com