d e s a i n ! A r s i t e
k t u r
m a j a l a h e k s
p l o r a s i d e s a i n & a r s i t e k t u r
EDISI #2 MEI 2000
PENDIDIKAN ARSITEKTUR YANG MEMBEBASKAN DAN MEMANUSIAKAN
Pendidikan kini justru kerap menjadi organ yang
menafikan kemanusiaan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Martin
Luqman Katoppo dan Tony Sofian*
menggandeng seorang tokoh pendidikan Brasil untuk menelaah permasalahan pendidikan
arsitektur di Indonesia.
Pendidikan dan Freire
Teori pendidikan telah berkembang dari teori dengan paradigma konservativisme sampai pada
teori berparadigma ekstrem seperti liberalisme, liberasionisme sampai anarkisme. Teori
pendidikan yang mempengaruhi tema tulisan ini berasal dari teori pendidikan Paulo Freire,
seorang pendidik praksis revolusioner berbasis paradigma liberasionisme (pembebasan).
Gagasan Freire banyak dianggap sebagai gagasan pembebasan penuh pendidikan institusional
dan mengacu pada pembebasan masyarakat dalam mengenyam pendidikan. Gagasan ini banyak
disetarakan dengan teori anarkis mengenai praktik ajar-mengajar yang dinilai sudah
cenderung menjadi komoditas kapitalistik yang tidak lepas dari usaha pemenuhan kebutuhan
semu terhadap tuntutan masyarakat semu produk sistem kapitalis. Putar-ulang seluruh
gagasan pendidikan sebagai kritik terhadap sistem dan metode pendidikan yang sudah baku
adalah gagasan para anarkisdari sini muncul istilah 'deschooling society' yang
menyatakan sikap para anarkis. Freire kemudian sangat dekat dengan para penggagas anarkis
ini terutama karena rasa antipati terhadap sistem kapitalistik dan karena sifat praksis
serta revolusioner Freire.
Pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan ala Freire tertuju untuk menggugah kesadaran
pelaksanaan metode pendidikan yang bukan saja membebaskan tetapi yang terpenting kembali
memanusiakan manusia; menghilangkan jejak de-humanisasi yang merasuki dunia pendidikan.
Freire menegaskan bahwa dehumanisasi yang terjadi harus ditolak dan hembusan dehumanisasi
sudah mengakar pada setiap sendi kehidupan harus dihentikan. Freire berpendapat bahwa
pendidikan dalam artian yang benar adalah harapan terbesar untuk menghapus jejak
dehumanisasi dalam sejarah kehidupan manusia. Dehumanisasi memang merupakan fakta sejarah
tetapi tidak berarti manusia harus menerima hal tersebut sebagai fakta sejarah yang
terberi. Freire mengkhawatirkan makin kuatnya penjejakan dehumanisasi manusia dengan
metode pendidikan yang terjadi selama ini.
Tatanan nilai positif Freire dapat disejajarkan dengan tema pendidikan yang berkembang
akhir-akhir ini: apakah institusi pendidikan berniat mencetak manusia mekanistis, atau
berusaha untuk lebih menghasilkan manusia yang berbudaya? Manusia yang berbudaya di sini
mungkin lebih diarahkan pada peraihan kebebasan dan humanisasi, sesuai dengan niat Freire.
Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan dapat dilihat
di bawah ini:
(1) Pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum
tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan. Pendidikan bukan dilaksanakan atas
kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan
legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan
perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran
atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, melainkan dari diri
sendiri. Dari sini sang subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma
sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri.
Pendidikan ini bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar,
tetapi untuk membebaskan dan mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan.
(2) Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye
dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut
ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak
bagi semua orang tanpa kecuali.
(3) Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang
membebaskan dan kemudian memanusiakan.
Pendidikan Arsitektur Indonesia
Teori pendidikan arsitektur masih berupaya mencari bentuk dan format yang tepat, baik dari
metode pendidikannya maupun dari bentuk institusi pendidikannya itu sendiri. Apa yang
harus dipelajari dalam arsitektur? Apa yang bisa didapatkan dari pendidikan arsitektur?
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan klasik untuk ilmu yang berbasis setengah teknis dan
setengah sosial ini. Pertanyaan terhadap metode pendidikan arsitektur sebenarnya adalah
pertanyaan tentang arsitektur itu sendirisuatu bidang ilmu yang sangat gamang dan
berdiri pada sebuah soft-ground.
Pada kajian-kajian Niels L.Prak1 ataupun Roger K. Lewis2, banyak diketengahkan
permasalahan arsitek sesudah memasuki dunia arsitektural yang sesungguhnya. Permasalahan
para arsitek ini dipengaruhi pula oleh sistem pendidikan yang dialami mereka sebelumnya.
Pada tulisan Lewis, dipaparkan berbagai macam tipe arsitek setelah mereka menjalani dunia
arsitektural mereka; dari tipe arsitek yang memiliki semangat 'enterpreneurship' sampai
arsitek bertipe 'artiste' dan 'poet-philosophers' yang menguatkan diri pada basis tradisi
seni dan interprestasinya, sebagai pengkayaan khasanah arsitektural. Sementara Prak cukup
membatasi pada dua tipe arsitek yang praktisi/fungsionalis dan artis/pembaharu. Seorang
arsitek sejati sebenarnya merupakan gabungan antara kedua tipe arsitek itu: yang mampu
berpraksis dan mengembangkan kreativitas serta imajinasi-idealismenya, seraya mampu
mengejewantahkan pemikiran tersebut dalam bentuk nyata yang diterima oleh masyarakat.
Pola pendidikan arsitektur yang ingin mendekatkan diri pada pembentukan dan penciptaan
arsitek ideal tersebut kemudian menjadi dilematis. Penyeimbangan pendidikan arsitektur
yang menampung sisi pendidikan praksis dan pengkayaan pembudayaan/teoritis arsitektur,
harus dilihat sebagai suatu bentuk penyeimbangan yang kondisional dan bukan proporsional.
Penyeimbangan dilakukan secara subjektif, tergantung pada paradigma institusi tersebut.
Pembentukan kurikulum untuk L'Ecole des Beaux-Arts, misalnya, berbeda dengan pembentukan
kurikulum yang dilakukan oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology).
Lebih jauh lagi, permasalahan dilematis pendidikan arsitektur yang juga (biasanya)
dilaksanakan dan diselenggarakan oleh para arsitek yang sudah terlegitimasi, akan
terperangkap dan terpengaruh oleh keadaan praksis arsitektur di keadaan yang nyata.
Sebagai ilmu yang harus bisa diterapkan kepada masyarakat, pendidikan arsitektur mengalami
permasalahan dilematis; apakah sebaiknya menyelenggarakan pendidikan yang murni praksis
bagi para calon arsitek untuk berinteraksi langsung secara fungsional terhadap masyarakat,
atau di lain pihak berusaha menyelenggarakan pendidikan yang murni kritis-sosial dan lebih
peduli terhadap perkembangan kebudayaan. Para arsitek menyadari bahwa pengkondisian
pendidikan secara murni praksis akan menghasilkan suatu kejenuhan pada profesi arsitek dan
menjadikan arsitek tidak lebih sebuah komoditas. Arsitek praktis akan membantu memudahkan,
memangkus- dan sangkilkan arsitektur secara fungsional kepada masyarakat, tetapi
lama-kelamaan keadaan itu akan menciptakan suatu standardisasi dan generalisasi yang
mengasingkan masyarakat penggunanya.
Di lain sisi, pengembaraan pada sisi ekstrem arsitektur yang kaya akan seni juga memiliki
bahaya yang sama apabila ia tidak dapat mempertahankan kondisi kontradiktifnya dalam
masyarakat itu sendiri. Sementara itu, kelompok arsitek inilah yang sering dianggap
sebagai penanda zaman dan penjaga eksistensi arsitektur, dan hal ini melegitimasi
keperluan masyarakat terhadap arsitek. Fakta ini juga menggoda banyak mahasiswa di bangku
pendidikan arsitektur, tanpa menyadari kesulitan pembawaan idealisme tersebut pada
masyarakat umum. Apa perlunya suatu hasil karya arsitektur yang tidak mengikuti
standardisasi kecuali sebagai suatu pemuasan ego si-arsitek? Pendalaman teori-teori
arsitektural tanpa praksis cenderung justru akan men-terasing-kan arsitek dari
masyarakatnya. Hal ini terlihat jelas dari proyek-proyek yang dihasilkan oleh para arsitek
pada sisi ekstrem ini, yang notabene jauh lebih kecil jumlahnya daripada proyek yang
berhasil dikerjakan oleh para arsitek praktis.
Metode pengajaran arsitektur pada institusi pendidikan menjadi penting, karena pola
pendidikan berpengaruh pada pembentukan para calon arsitek tersebut saat telah menjadi
arsitek. Merujuk pada sebuah tulisan yang dilakukan oleh Julian Beinart, metode pengajaran
pendidikan arsitektur kini masih jauh dari kondisi bebas-nilai. Tetapi tidak selamanya
pengejaran terhadap objektivisme dan kondisi bebas-nilai dalam pola pendidikan arsitektur
menjadi baik, apalagi arsitektur merupakan bidang ilmu yang bertekanan pada nilai-nilai
pluralitas dan subjektivisme positif. Kegelisahan mendasar para calon arsitek biasanya
disebabkan oleh kurikulum pendidikan arsitektur yang padat dan tidak jelas menggambarkan
paradigma institusi pendidikan arsitektur tersebut. Para calon arsitek banyak yang
mengalami kebingungan sampai pada tingkat terakhir tentang apa sebenarnya pendidikan
arsitektur yang mereka jalani itu.
Permasalahan lain yang menggelisahkan para calon arsitek ini adalah bahwa praksis yang
didapatkan pada pendidikan arsitektur cenderung berbentuk semu. Para calon arsitek ini
merasa terasing dalam dunia pendidikannya. Para pendidik biasanya mengikuti pola
pengajaran yang sangat deterministik dan jarang memberikan tempat pada kreasi intuitif
mahasiswa. Pemecahan masalah sering kabur dan merefleksikan pendapat-pendapat yang mengacu
pada keadaan ke-arsitek-an si pengajar; sementara di sisi lain, para calon arsitek juga
mengalami kesulitan menerima standardisasi dan generalisasi berlebihan yang menghambat
perkembangan ide desain mereka.
Dana Cuff (1991) memaparkan tentang pencarian sebuah metode pengajaran serta usulan kajian
fisik tempat pelaksanaan pengajaran. Cuff berpendapat bahwa pengkondisian fisik, yang
merupakan perwujudan metode pengajaran arsitektur, juga berkembang menghadapi tuntutan
pola pendidikan dan paradigmanya. Pengkondisian fisik juga akan mempengaruhi 'produksi'
arsitek dari institusi tersebut. Bengkel dan studio arsitektur adalah suatu perwujudan
fisik metode pengajaran arsitektur yang kemudian menjadi bentuk baku fisik pendidikan
arsitektur. Laboratorium dan perpustakaan juga menjadi bagian penting yang merupakan
bentuk-bentuk semu fisik pendidikan arsitektur dalam mempersiapkan para calon arsitek pada
dunia arsitektur yang sesungguhnya.
Landasan Umum Pendidikan Arsitektur yang Membebaskan dan
Memanu-siakan
Berikut adalah beberapa hal yang sering terlupakan dalam pembahasan mengenai metode
pengajaran arsitektur dan perwujudannya secara fisik. Pertama; metode pengajaran atau
pembakuannya dalam bentuk fisik sesungguhnya merupakan sarana dan prasarana pelatihan dan
pengembangan desain serta eksplorasi ide para calon arsitek.
Kedua; metode pengajaran pada pendidikan arsitektur sering digunakan oleh para pengajar
sebagai wahana eksplorasi desain mereka, dan sebagai upaya bawah-sadar untuk menciptakan
imitasi mereka sendiri. Di sini timbul tuntutan atas demokratisasi dan pengarahan yang
seharusnya lebih bersifat dialogis dan eksploratif. Pendidikan yang mengharuskan interaksi
antara pendidik dengan para calon arsitek, sering disalahtafsirkan sebagai upaya
pembentukan dan bukan pengarahan objektif. Interaksi berintensitas tinggi pada suatu
lembaga pendidikan arsitektur seharusnya terarah pada suasana pembebasan dan pemanusiaan
yang dimaksud Freire. Di sini, para pendidik/pengajar arsitektur dan para calon arsitek
berada pada suatu posisi yang sama, saling mengisi dan menambahkan pengetahuan, saling
menjadi subjek dan bersama-sama mencari kebenaran pengetahuan arsitektur.
Hal lain yang juga kerap terlupakan dalam wacana mengenai pendidikan arsitektur adalah
mengenai bentuk fisik metode pengajaran, yang seharusnya mengikuti pola yang sama dengan
metode pendidikan arsitektur. Studio atau bengkel kerja, laboratorium dan perpustakaan
seharusnya merupakan wahana eksplorasi bagi para calon arsitek untuk mengembangkan intuisi
desainnya. Pengajar atau koordinator studio seharusnya bertindak sebagai pengantar,
pengarah dan kritisi netral yang mengembangkan dan membuka dialektika. Perkembangan yang
terjadi pada metode pengajaran pendidikan arsitektur akan mempengaruhi perwujudan fisik
institusi pendidikan arsitektur tersebut (meski tidak tertutup kemungkinan terjadinya
keadaan yang sebaliknya). Metode pengajaran seharusnya dialektis dan menanggapi para calon
arsitek dari berbagai aspek pemenuhan kebutuhan mereka. Pada gilirannya hal ini akan
membebaskan dan memanusiakan para mahasiswa, serta dengan sendirinya akan membantu
pengkondisian pola pendidikan arsitektur yang membebaskan dan memanusiakan.
1 Prak, L. Niels (1984), Architects: The Noted and the Ignored, John
Wiley & Sons, New York
2 Lewis, Roger K. (-), Architect? A Candid Guide to the Profession, MIT Press
*Kedua penulis adalah peserta Program Pasca
Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung, Jurusan Sejarah, Teori dan Kritik.
reddesaintheme
copyrightã2000 prasthadesign
webmaster:
eyes-inc@consultant.com